Jumat, 02 Juni 2017

Hukum Shalat Berjamaah



Sunnah Muakkad
Menurut Abu Syuja’, hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkad. Artinya, shalat tersebut sangan ditekankan. Jangan sampai ditinggalkan. Hal ini berlaku bagi laki-laki yang bermukim. Sedangkan bagi perempuan dan laki-laki yang dalam keadaan safar, tidaklah wajib.


Fardhu Kifayah
Selain itu, ada juga pendapat lain yang berasal dari mazhab syafi’i juga, yang berpendapat bahwa hukum dari shalat berjamaah adalah fardu kifayah. Artinya selama masih ada yang mengerjakan shalat berjamaah di suatu kampung atau tempat itu maka orang yang lain menjadi gugur kewajibannya.

Wajib
Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat wallahu a’lam adalah hukumnya wajib. Bahkan disebutkan dalam suatu hadits Rasulullah sampai ingin membakar rumah, yang mana penghuninya shalat di rumah. Bukan di masjid.
Aku sangat ingin memerintahkan shalat (dikerjakan), lalu dikumandangkan iqomat dan kuperintahkan seseorang untuk mengimami para jama’ah. Sementara itu aku pergi bersama beberapa orang yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah dan membakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651)

Sumber : https://rumaysho.com/6225-hukum-shalat-jamaah-wajib.html

Alasan lain yang menjadikan shalat berjamaah itu wajib adalah ketika perang,  Rasulullah tetap melaksanakan shalat (shalat khauf).
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat khauf satu raka’at bersama salah satu golongan, sementara golongan yang lain menghadap ke musuh. Kemudian golongan pertama berpaling dan menggantikan di tempat kawan-kawan mereka yang lain sambil menghadap ke arah musuh. Setelah itu, datanglah golongan kedua yang lalu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu raka’at. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam salam dan golongan kedua pun meneruskan satu raka’at, begitu juga dengan golongan yang pertama.” Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/573 no. 839)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/429 no. 942), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/118 no. 1230), Sunan at-Tirmidzi (II/39 no. 561), dan Sunan an-Nasa-i (III/171)


Apabila dilihat dari hadits di atas, Rasulullah tetap melaksanakan shalat berjamah padahal saat itu dalam peperangan. Lantas bagaimana saat dalam keadaan lapang? Dan dengan adanya hadits di atas juga menjadi dasar bahwa saat shafar pun juga tetap ada shalat berjamaah.

Keringanan Untuk Tidak Shalat Berjamaah
Keringanan didapat apabila dalam keadaan sakit atau tidak kuat untuk pergi melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Akan tetapi, terkait dua keringanan ini dapat kita menyimak lagi hadits berikut.

“Seorang lelaki buta menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki seorang penuntun yang bisa menuntunku berjalan ke mesjid.’ Kemudian ia memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberikan keringanan sehingga dia boleh shalat di rumahnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya. Ketika orang tersebut berpaling pergi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata, ‘Apakah kamu mendengar azan shalat?’ Ia menjawab, ‘Iya.’ Beliau pun menyatakan, ‘Maka datangilah!’”(HR. Muslim)


Lantas, kalau orang buta saja tetap diperintahkan oleh Rasulullah mendatangi masjid untuk shalat berjamaah, bagaimana dengan kita yang dititipkan kesempurnaan fisik??

Sumber : Materi kuliah online bisa, mata kuliah fiqh.

0 komentar:

Posting Komentar