17.31 -
artikel Islam
No comments
Hukum Shalat Berjamaah
Sunnah Muakkad
Menurut Abu Syuja’, hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkad.
Artinya, shalat tersebut sangan ditekankan. Jangan sampai ditinggalkan. Hal ini
berlaku bagi laki-laki yang bermukim. Sedangkan bagi perempuan dan laki-laki
yang dalam keadaan safar, tidaklah wajib.
Fardhu Kifayah
Selain itu, ada juga pendapat lain yang berasal dari mazhab syafi’i
juga, yang berpendapat bahwa hukum dari shalat berjamaah adalah fardu kifayah.
Artinya selama masih ada yang mengerjakan shalat berjamaah di suatu kampung
atau tempat itu maka orang yang lain menjadi gugur kewajibannya.
Wajib
Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat wallahu a’lam adalah
hukumnya wajib. Bahkan disebutkan dalam suatu hadits Rasulullah sampai ingin membakar
rumah, yang mana penghuninya shalat di rumah. Bukan di masjid.
Aku sangat ingin memerintahkan shalat (dikerjakan),
lalu dikumandangkan iqomat dan kuperintahkan seseorang untuk mengimami para
jama’ah. Sementara itu aku pergi bersama beberapa orang yang membawa seikat
kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah dan membakar
rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari no. 644 dan
Muslim no. 651)
Sumber : https://rumaysho.com/6225-hukum-shalat-jamaah-wajib.html
Sumber : https://rumaysho.com/6225-hukum-shalat-jamaah-wajib.html
Alasan lain yang menjadikan shalat berjamaah itu wajib adalah
ketika perang, Rasulullah tetap melaksanakan
shalat (shalat khauf).
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat khauf satu raka’at
bersama salah satu golongan, sementara golongan yang lain menghadap ke musuh.
Kemudian golongan pertama berpaling dan menggantikan di tempat kawan-kawan
mereka yang lain sambil menghadap ke arah musuh. Setelah itu, datanglah
golongan kedua yang lalu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu
raka’at. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam salam dan golongan kedua pun
meneruskan satu raka’at, begitu juga dengan golongan yang pertama.” Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/573 no. 839)],
ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/429 no. 942),
Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/118 no. 1230), Sunan at-Tirmidzi (II/39
no. 561), dan Sunan an-Nasa-i (III/171)
Apabila dilihat dari hadits di
atas, Rasulullah tetap melaksanakan shalat berjamah padahal saat itu dalam
peperangan. Lantas bagaimana saat dalam keadaan lapang? Dan dengan adanya hadits di atas juga menjadi dasar
bahwa saat shafar pun juga tetap ada shalat berjamaah.
Keringanan Untuk Tidak Shalat Berjamaah
Keringanan didapat apabila dalam keadaan sakit atau tidak kuat
untuk pergi melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Akan tetapi, terkait dua
keringanan ini dapat kita menyimak lagi hadits berikut.
“Seorang lelaki buta menjumpai
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh
aku tidak memiliki seorang penuntun yang bisa menuntunku berjalan ke mesjid.’
Kemudian ia memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
diberikan keringanan sehingga dia boleh shalat di rumahnya, lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya. Ketika orang tersebut berpaling
pergi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata, ‘Apakah
kamu mendengar azan shalat?’ Ia menjawab, ‘Iya.’ Beliau pun menyatakan, ‘Maka
datangilah!’”(HR. Muslim)
Read more https://konsultasisyariah.com/2168-laki-laki-wajib-shalat-berjamaah-di-masjid-benarkah.html
Lantas, kalau orang buta saja tetap diperintahkan oleh Rasulullah
mendatangi masjid untuk shalat berjamaah, bagaimana dengan kita yang dititipkan
kesempurnaan fisik??
Sumber : Materi kuliah online bisa, mata kuliah fiqh.
0 komentar:
Posting Komentar