Selasa, 19 November 2013

Keihklasan Seorang Suami



Surabaya, 15 Nopember 2013


            Tersebutlah sepasang suami istri. Mereka sudah menikah selama empat tahun, namun belum juga dikaruniai anak. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke dokter memeriksakan diri. Setelah diperiksa, ternyata Sang Istri mengalami kemandulan. Sang Suami yang mengetahui hal itu pun meminta kepada dokter yang memeriksa agar tidak memberitau istrinya dan mengatakan bahwa dirinyalah yang mandul. Sang Dokter pun mengatakan apa yang diminta oleh Suami, yaitu mengatakan bahwa yang mandul adalah dirinya

Imam Nawawi



Surabaya, 3 Oktober 2013

Imam Nawawi mungkin nama yang tak asing lagi bagi para Tholabul ‘ilmi. tentunya hal ini tidak terlepas dari karya beliau berupa kitab – kitab yang menjadi rujukan kebanyakan orang dalam menuntut ilmu. Salah satu kitab karya Imam Nawawi yang sangat sering dikaji adalah Riyadhus Shalihin.
            Riyadhus berasal dari kata Raudhah yang artinya taman atau kebun. Adapun Riyadhus adalah jamak dari Raudhah, sehingga berarti “Taman – taman”. Sedangkan Shalihin sendiri merupakan jamak dari kata Shaleh. Sehingga bila diartikan secara lengkap arti dari Riyadhus Shalihin adalah “Taman – Taman Orang - Orang yang Shalih”.
            Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau lahir pada bulan Muharram tahun 631H di Nawa, sebuah kampung yang ada di Damaskus, ibu kota Syiria. Maka karena itulah beliau akrab dipanggil dengan “Imam Nawawi”.
            Bisa dikatakan umur Imam Nawawi ini berkah. Karena beliau meninggal dalam usia 45 tahun, usia yang bisa dibilang singkat tetapi Beliau dapat menghasilkan karya yang luar biasa. Beliau mulai belajar tafsir Al Qur’an,dsb. pada usia 10 tahun. Mungkin bagi kita sekarang itu sudah sesuatu yang “wah”. Tetapi jika dibandingkan dengan zaman dahulu, usia 10 tahun itu dapat dikatakan “terlambat”. Karena ulama yang lain itu sudah ada yang hafal Al Qur’an pada usia 7 tahun dan mulai belajar agama dari usia yang kebih muda lagi. Pada usia 34 tahun mulai menulis kitab – kitab. Jika dikurangkan dengan usia wafatnya beliau (45 tahun), maka total usia yang beliau gunakan untuk mengahasilkan karya berupa kitab – kitab adalah 11 tahun. Dalam rentang waktu tersebut karya yang beliau hasilkan diantaranya adalah Kitab Arba’in, Riyadhus Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim) dll.
            Tanda – tanda Imam Nawawi akan jadi ulama besar sudah terlihat sejak Beliau kecil.  Ketika beliau berumur 10 tahun, yaitu usia yang biasanya ihabiskan anak – anak untuk bermain, seorang Syaikh lewat melihat anak – anak yang sebaya dengan Imam Nawawi bermain. Hanya satu anak yang Beliau lihat tidak mau ikut. Teman – temannya yang lain memaksanya untuk ikut tetapi beliau menolak, menghindar, bahkan sampai menangis. Melihat hal ini Syaikh tersebut yakin bahwa suatu saat nanti anak itu akan menjadi ulama besar. Setelah itu beliau selidiki asal – usul anak tersebut. Kemudian beliau berpesan kepada orang tuanya agar menjaga dan mendidik anak tersebut dengan baik.
            Walaupun Beliau bermazhab Syafi’i, tetapi karya beliau diterima oleh semua kalangan baik oleh para pengikut mazhab yang lain. Kecuali memang penjelasan tentang Mazhab Imam Syafi’i sendiri.  Mungkin hal ini dikarenakan keikhlasan Beliau dalam mencari dan mengajarkan ilmunya. Dan perlu diketahui, Imam Nawawi sampai meninggal tidak menikah. Ya, Beliau meninggal dalam keadaan membujang. Bukan berarti Beliau tidak mau atau bahkan mengharamkan pernikahan, hanya saja Beliau tidak sempat untuk menikah karena hampir seluruh waktu Beliau dicurahkan untuk ilmu. Makan dan tidur pun diceritakan dalam riwayat Beliau lakukan karena terpaksa. Beliau juga memiliki tiga sifat yang menonjol yaitu keluasan ilmunya, zuhud dan wara’nya, serta dakwah Beliau.
            Beliau memiliki ilmu yang luas. Tetapi walaupun memiliki keluasan ilmu ada yang paling menonjol yaitu hadits dan fiqh. Ya, Beliau adalah ahli hadits dan fiqh.
Imam Nawawi merupakan anak dari keluarga yang berada. Tetapi beliau memilih bersikap Zuhud dan Wara’ (tidak bermegah – megahan). Adapun zuhud dan wara’ yang dimaksud bukanlah orang yang pakaiannya compang – camping, tidak makan, tidak memikirkan dunia lagi. Tetapi yang dimaksud di sini adalah terkait hati. Kita itu boleh memiliki harta yang banyak, mengejar kedudukan,dsb. Tetapi letakkanlah harta itu di “tangan” jangan di “hati”. Jadinya ketika hal itu hilang atau memang harus “dilepaskan” kita tidak akan sakit hati dan mudah saja untuk melakukannya. Karena tangan itu mudah untuk melepaskan, sedangkan hati itu sulit untuk melakukannya. Jadi ketika memang harta itu dibutuhkan untuk ummat maka berikanlah. Ketika memang jabatan yang kita miliki saat ini sudah saatnya untuk berganti dengan yang lain, maka serahkanlah. Jadikanlah semua yang kita miliki di dunia ini sebagai sarana, untuk beribadah , mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jangan sampai harta, segala yang ada di dunia ini kita jadikan tujuan. Karena tujuan kita adalah akhirat, kita berbuat semata – mata karena Allah SWT.
Adapun sifat terakhir Beliau yang menonjol yaitu dakwah, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk kepada para penguasa sesuai dengan apa yang digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika Beliau dipanggil oleh Raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Maka Beliau mendatanginya. Melihat Beliau yang berpenampilan sederhana dan bertubuh kurus, membuat Raja meremehkannya dan langsung menyuruh menandatangani fatwa tersebut. Tetapi sebelumnya Beliau membaca fatwa tersebut dan setelah itu menolak untuk menandatanganinya. Kemudia raja marah dan berkata, “Kenapa !?” Beliau menjawab, “Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata, “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembanturaja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya, “Kenapa engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Raj apun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Sebagai penutup, akan saya ceritakan lagi hal yang dapat kita teladani dari Beliau. Sebagai Ulama, Beliau mendapat gaji dari pemerintah. Tetapi oleh Beliau gaji itu hanya diambil setengah dan itu pun Beliau belikan buku untuk diwakafkan. Selain itu, Beliau juga dikenal tidak mau makan buah. Hal ini bukan karena Beliau tidak suka atau bahkan mengharamkan. Akan tetapi Beliau melakukan hal tersebut dikarenakan pada saat itu tanah yang dijadikan lahan untuk kebuh adalah tanah wakaf dan tanah yang dimiliki oleh anak yatim. Demi menjaga diri dari memakan harta yang bukan haknya, Beliau memilih untuk tidak makan buah. Masya Allah..

Sumber : SMS (Sunday Morning Spirit) oleh Ustdz Mudoffar