Surabaya, 3 Oktober 2013
Imam
Nawawi mungkin nama yang tak asing lagi bagi para Tholabul ‘ilmi. tentunya hal ini tidak terlepas dari karya beliau
berupa kitab – kitab yang menjadi rujukan kebanyakan orang dalam menuntut ilmu.
Salah satu kitab karya Imam Nawawi yang sangat sering dikaji adalah Riyadhus Shalihin.
Riyadhus berasal
dari kata Raudhah yang artinya taman
atau kebun. Adapun Riyadhus adalah
jamak dari Raudhah, sehingga berarti
“Taman – taman”. Sedangkan Shalihin
sendiri merupakan jamak dari kata Shaleh.
Sehingga bila diartikan secara lengkap arti dari Riyadhus Shalihin adalah “Taman – Taman Orang - Orang yang Shalih”.
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin
Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau lahir pada bulan Muharram
tahun 631H di Nawa, sebuah kampung yang ada di Damaskus, ibu kota Syiria. Maka
karena itulah beliau akrab dipanggil dengan “Imam Nawawi”.
Bisa
dikatakan umur Imam Nawawi ini berkah. Karena beliau meninggal dalam usia 45
tahun, usia yang bisa dibilang singkat tetapi Beliau dapat menghasilkan karya
yang luar biasa. Beliau mulai belajar tafsir Al Qur’an,dsb. pada usia 10 tahun.
Mungkin bagi kita sekarang itu sudah sesuatu yang “wah”. Tetapi jika
dibandingkan dengan zaman dahulu, usia 10 tahun itu dapat dikatakan
“terlambat”. Karena ulama yang lain itu sudah ada yang hafal Al Qur’an pada
usia 7 tahun dan mulai belajar agama dari usia yang kebih muda lagi. Pada usia
34 tahun mulai menulis kitab – kitab. Jika dikurangkan dengan usia wafatnya
beliau (45 tahun), maka total usia yang beliau gunakan untuk mengahasilkan
karya berupa kitab – kitab adalah 11 tahun. Dalam rentang waktu tersebut karya
yang beliau hasilkan diantaranya adalah Kitab
Arba’in, Riyadhus Shalihin, Al-Minhaj
(Syarah Shahih Muslim) dll.
Tanda
– tanda Imam Nawawi akan jadi ulama besar sudah terlihat sejak Beliau
kecil. Ketika beliau berumur 10 tahun,
yaitu usia yang biasanya ihabiskan anak – anak untuk bermain, seorang Syaikh lewat melihat anak – anak yang
sebaya dengan Imam Nawawi bermain. Hanya satu anak yang Beliau lihat tidak mau
ikut. Teman – temannya yang lain memaksanya untuk ikut tetapi beliau menolak,
menghindar, bahkan sampai menangis. Melihat hal ini Syaikh tersebut yakin bahwa suatu saat nanti anak itu akan menjadi
ulama besar. Setelah itu beliau selidiki asal – usul anak tersebut. Kemudian
beliau berpesan kepada orang tuanya agar menjaga dan mendidik anak tersebut
dengan baik.
Walaupun
Beliau bermazhab Syafi’i, tetapi karya beliau diterima oleh semua kalangan baik
oleh para pengikut mazhab yang lain. Kecuali memang penjelasan tentang Mazhab
Imam Syafi’i sendiri. Mungkin hal ini
dikarenakan keikhlasan Beliau dalam mencari dan mengajarkan ilmunya. Dan perlu
diketahui, Imam Nawawi sampai meninggal tidak menikah. Ya, Beliau meninggal
dalam keadaan membujang. Bukan berarti Beliau tidak mau atau bahkan
mengharamkan pernikahan, hanya saja Beliau tidak sempat untuk menikah karena
hampir seluruh waktu Beliau dicurahkan untuk ilmu. Makan dan tidur pun
diceritakan dalam riwayat Beliau lakukan karena terpaksa. Beliau juga memiliki
tiga sifat yang menonjol yaitu keluasan ilmunya, zuhud dan wara’nya, serta
dakwah Beliau.
Beliau
memiliki ilmu yang luas. Tetapi walaupun memiliki keluasan ilmu ada yang paling
menonjol yaitu hadits dan fiqh. Ya, Beliau adalah ahli hadits dan fiqh.
Imam Nawawi
merupakan anak dari keluarga yang berada. Tetapi beliau memilih bersikap Zuhud
dan Wara’ (tidak bermegah – megahan). Adapun zuhud dan wara’ yang
dimaksud bukanlah orang yang pakaiannya compang – camping, tidak makan, tidak
memikirkan dunia lagi. Tetapi yang dimaksud di sini adalah terkait hati. Kita
itu boleh memiliki harta yang banyak, mengejar kedudukan,dsb. Tetapi
letakkanlah harta itu di “tangan” jangan di “hati”. Jadinya ketika hal itu
hilang atau memang harus “dilepaskan” kita tidak akan sakit hati dan mudah saja
untuk melakukannya. Karena tangan itu mudah untuk melepaskan, sedangkan hati
itu sulit untuk melakukannya. Jadi ketika memang harta itu dibutuhkan untuk
ummat maka berikanlah. Ketika memang jabatan yang kita miliki saat ini sudah
saatnya untuk berganti dengan yang lain, maka serahkanlah. Jadikanlah semua
yang kita miliki di dunia ini sebagai sarana, untuk beribadah , mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Jangan sampai harta, segala yang ada di dunia ini kita
jadikan tujuan. Karena tujuan kita adalah akhirat, kita berbuat semata – mata karena
Allah SWT.
Adapun sifat
terakhir Beliau yang menonjol yaitu dakwah, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Termasuk kepada para penguasa sesuai dengan apa yang digariskan Islam. Beliau
menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali.
Suatu ketika Beliau dipanggil oleh Raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani
sebuah fatwa. Maka Beliau mendatanginya. Melihat Beliau yang berpenampilan
sederhana dan bertubuh kurus, membuat Raja meremehkannya dan langsung menyuruh
menandatangani fatwa tersebut. Tetapi sebelumnya Beliau membaca fatwa tersebut
dan setelah itu menolak untuk menandatanganinya. Kemudia raja marah dan
berkata, “Kenapa !?” Beliau menjawab, “Karena berisi kedhaliman yang nyata.”
Raja semakin marah dan berkata, “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para
pembanturaja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin
membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya, “Kenapa engkau bunuh dia
padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Raj apun menjawab: “Demi Allah,
aku sangat segan padanya.”
Sebagai
penutup, akan saya ceritakan lagi hal yang dapat kita teladani dari Beliau.
Sebagai Ulama, Beliau mendapat gaji dari pemerintah. Tetapi oleh Beliau gaji
itu hanya diambil setengah dan itu pun Beliau belikan buku untuk diwakafkan.
Selain itu, Beliau juga dikenal tidak mau makan buah. Hal ini bukan karena
Beliau tidak suka atau bahkan mengharamkan. Akan tetapi Beliau melakukan hal
tersebut dikarenakan pada saat itu tanah yang dijadikan lahan untuk kebuh
adalah tanah wakaf dan tanah yang dimiliki oleh anak yatim. Demi menjaga diri
dari memakan harta yang bukan haknya, Beliau memilih untuk tidak makan buah. Masya Allah..
Sumber : SMS (Sunday Morning Spirit) oleh Ustdz Mudoffar